BEST PRACTICE
PENINGKATAN MOTIVASI ANAK TUNADAKSA DALAM
PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN METODE DKS (DAMPINGI, KOMUNIKASI, SEMANGATI) DI SMAN
1 SAWANG
Oleh :
Arfianto Wisnugroho,
S.Pd
NIP. 198601092015041001
SMAN 1 SAWANG
KABUPATEN ACEH SELATAN
DINAS PENDIDIKAN PROVINSI ACEH
PEMERINTAH
ACEH
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis telah dapat menyelesaikan best
practice yang berjudul “Peningkatan Motivasi
Anak Tunadaksa Dalam Pendidikan Inklusif Dengan Metode DKS (Dampingi,
Komunikasi, Semangati) Di SMAN 1 Sawang”.
Dalam penelitian dan penyusunan laporan ini penulis mengalami
banyak hambatan, namun berkat bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan ini
dengan baik dan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.
Syamsuir, S.Pd.
selaku Kepala SMAN 1 Sawang yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan
penelitian.
2.
Guru dan staf
SMAN 1 Sawang yang mendukung penyelesaian laporan ini.
3.
Siswa berkebutuhan
khusus tunadaksa yang membantu penulis dalam proses penelitian dan penyelesaian
laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan laporan best
praktice ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan dan perbaikan lebih lanjut.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis,
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Semoga laporan best praktice ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca.
Sawang, 22 Oktober 2020
Penulis,
Arfianto
Wisnugroho, S.Pd
ABSTRAK
PENINGKATAN MOTIVASI
ANAK TUNADAKSA
DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN METODE DKS (DAMPINGI, KOMUNIKASI, SEMANGATI)
DI SMAN 1 SAWANG
Arfianto Wisnugroho
SMAN 1 Sawang,
Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh
arfiyanase@gmail.com
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan baik secara
fisik maupun mental sehingga perlu penanganan khusus. Tipe-tipe kebutuhan
khusus ini dapat berupa cacat fisik, hiperaktif, autis dan tunalaras (gangguan
emosi dan perilaku). Kendati terlihat berbeda dari anak pada umumnya, mereka
tetap memiliki hak yang sama dengan anak lain. Karena itulah sekolah inklusi
hadir untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus sehingga mereka tidak
mengalami diskriminasi dalam memperoleh pendidikan. Hal itu menuntut kesiapan sekolah
akan pelayanan yang mumpuni untuk dapat merangkul juga siswa berkebutuhan
khusus. Salah satu bentuk pelayanan ini adalah peran
guru yang lebih peka dan lekat dengan siswa berkebutuhan khusus. Penelitian ini
dilatar belakangi oleh adanya siswa penyandang tunadaksa atau cacat fisik berupa salah
satu kaki kecil, berjalan pincang dan vokal
bicara agak terbata-bata. Ia yang awalnya memiliki motivasi belajar
tiba-tiba mengalami penurunan bahkan ingin menyerah dalam sekolah. Penelitian
ini diarahkan untuk meningkatkan motivasi anak berkebutuhan khusus dengan metode
DKS (Dampingi, Komunikasi, Semangati). Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang dilaksanakan di SMAN 1 Sawang sebagai salah satu sekolah
inklusi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode DKS dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa berkebutuhan khusus. Buktinya, siswa ini sekarang sudah menjadi
mahasiswa di Universitas Teuku Umar, jurusan Ilmu Komunikasi di semester ini.
Kata Kunci : Motivasi, Anak Tunadaksa,
Pendidikan inklusif, DKS (Dampingi, Komunikasi, Semangati)
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................................... i
Abstrak ............................................................................................................................. ii
Kata Pengantar................................................................................................................ .iii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iv
Daftar Tabel....................................................................................................................... v
Daftar Lampiran............................................................................................................... vi
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A.
Latar Belakang
Masalah ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C.
Tujuan
Penelitian .................................................................................................. 2
D.
Manfaat
Penelitian ................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA
................................................................................................ 3
A.
Pendidikan
Inklusif .............................................................................................. 3
B.
Anak
Berkebutuhan Khusus ................................................................................. 4
C.
Psikologi Anak Tunadaksa
................................................................................... 5
D.
Peningkatan Motivasi dengan Metode DKS (Dampingi, Komunikasi, Semangati) 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................. 8
A.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Best Praktice ...................................................... 8
B.
Hasil yang Dicapai ................................................................................................ 8
C.
Nilai Penting dan Kebaruan Best Praktice yang Telah Dilaksanakan ................ 10
D.
Tindak Lanjut ..................................................................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 13
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Peningkatan Motivasi Anak Tunadaksa Melalui Metode
DKS……9
DAFTAR
LAMPIRAN
Foto-Foto
Kegiatan Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa..14
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap
anak istimewa. Mereka lahir dengan potensi, bakat dan warnanya masing-masing.
Sehingga memberi keragaman dan corak yang berbeda dalam kehidupan kita. Ada
juga anak yang lahir dengan kebutuhan khusus. Dimana mereka memiliki kekhususan
dalam perkembangan fisik dan mental. Kendati demikian, semua anak memiliki
kesamaan dalam mendapatkan hak asasi yang paling mendasar dalam kehidupan yaitu
pendidikan.
Seperti
yang diamanatkan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, pendidikan
adalah proses memanusiakan manusia. Ia bukanlah sebuah pembelajaran akademik
semata namun lebih dari itu. Pendidikan membuat seorang manusia memiliki ilmu,
karakter dan bisa menjalani kehidupannya dengan sebaik-baiknya.
Oleh
karena itu, sudah selayaknya siswa
berkebutuhan khusus ikut bersekolah dengan siswa
yang normal agar semua anak saling berinteraksi dan tidak muncul diskriminasi.
Mereka semua dapat mengenal kehidupan bersama-sama dalam proses pendidikan yang
berorientasi pada ilmu, karakter dan nilai-nilai luhur kehidupan.
Florian
dalam Aini Mahabbati (2010) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif merupakan model
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa berkebutuhan khusus dapat
belajar bersama dengan siswa tidak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif
lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk
semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada baik siswa dengan kondisi
kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural maupun bahasa.
Konsekuensi
dari pendidikan inklusif ini menuntut sekolah untuk mampu memberikan pelayanan pembelajaran
yang mengakomodasi anak berkebutuhan khusus. Selain sarana prasarana, peran
guru dalam menerima, mengayomi, mendidik anak berkebutuhan khusus dengan lebih
peka sangat menentukan keberhasilan pendidikan inklusif.
SMAN
1 Sawang merupakan salah satu sekolah inklusi yang menjamin pelayanan
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Merangkul
anak berkebutuhan khusus dengan karakternya
masing-masing dalam
memperoleh pendidikan yang sama sudah
menjadi visi dan cita-cita. Namun, dalam
pelaksanaannya terdapat kendala yang membuat pembelajaran ini tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Seperti yang dialami salah satu siswa kami dengan
tunadaksa (cacat fisik berupa kaki kecil sebelah) berjalan pincang dan
ucapan masih terbata. Awalnya siswa ini tampak semangat belajar namun lama-lama
motivasinya berkurang hingga di titik ingin menyerah dan tidak melanjutkan
sekolah.
Perasaan
rendah diri, takut, malu, cemas, sasaran bullying teman sekelas, keterlambatan
dalam memahami pelajaran membuatnya
tidak termotivasi belajar. Keadaan ini pun diperparah dengan
kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu. Ia jadi semakin merasa tersingkir dari
proses pendidikan itu sendiri.
Dilatarbelakangi
oleh hal tersebut di atas, penulis tergerak untuk melaksanakan penelitian tentang
peningkatan motivasi siswa berkebutuhan khusus dengan DKS
(Dampingi, Komunikasi, Semangati).
Adapun judul penelitian ini adalah “Peningkatan
Motivasi Anak Tunadaksa
Dalam Pendidikan Inklusif Dengan Metode DKS (Dampingi, Komunikasi, Semangati)
Di SMAN 1 Sawang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana
penggunaan metode DKS (Dampingi, Komunikasi, Semangati) dapat meningkatkan
motivasi anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif di SMAN 1 Sawang?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini
adalah :
1.
Meningkatkan
motivasi belajar anak berkebutuhan khusus dalam melaksanakan pembelajaran di
sekolah inklusi.
2.
Mengetahui
efektifitas metode DKS (Dampingi, Komunikasi, Semangati) dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif
di SMAN 1 Sawang.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat
penelitian ini adalah :
1.
Menambah referensi guru tentang metode pembelajaran yang tepat untuk anak berkebutuhan
khusus.
2.
Sebagai
bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
3.
Sebagai masukan untuk Dinas Pendidikan Aceh, tenaga pendidik dan
kependidikan serta masyarakat agar lebih memberikan perhatian pada pendidikan
anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pendidikan
Inklusif
Pada masa lalu,
anak berkebutuhan khusus disebut dengan anak cacat. Seiring dengan perkembangan
zaman, istilah ini tidak lazim lagi digunakan
karena
dianggap kasar dan mencedarai hati
masyarakat khususnya penyandang cacat. Anak
berkebutuhan khusus sekarang lebih sering disebut difabel atau anak istimewa.
Anak berkebutuhan khusus ini memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang
berbeda. Begitupun dengan macam-macam penyebutannya sesuai dengan hambatan apa
yang dialami anak tersebut.
Menurut Kauffman
& Hallahan (2005) dalam Atien Nur Chamidah (2013) tipe-tipe kebutuhan
khusus ada sembilan. Mereka adalah (1) tunagrahita (mental retardation) atau
anak dengan hambatan perkembangan (child with development impairment), (2)
kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah,
(3) hiperaktif (Attention Deficit Disorder with Hyperactive ), (4) tunalaras
(Emotional and behavioral disorder), (5) tunarungu wicara (communication
disorder and deafness), (6) tunanetra atau anak dengan hambatan penglihatan
(Partially seing and legally blind), (7) autistik, (8) tunadaksa (physical
handicapped), dan (9) anak berbakat (giftedness and special talents).
Kendati memiliki
hambatan atau penanganan khusus, mereka tetap memiliki hak yang sama dalam
memperoleh layanan pendidikan. Pemerintah menetapkan penyelenggaraan pendidikan
inklusif yang diatur dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1. Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
Hal tersebut
dipertegas dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
maupun dalam Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa (Prastiyono, 2013: 117).
Dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32
juga disebutkan bahwa: “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, dan atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat.
Dari
undang-undang serta aturan yang dirumuskan, tampak bahwa negara menjamin
pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus sama dengan anak normal lainnya. Tidak
ada diskriminasi yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus tidak mendapat
kesempatan yang sama.
Pendidikan
inklusif adalah pendidikan yang
terbuka untuk semua “jenis” siswa. Ia mengakomodasi kebutuhan siswa
berkebutuhan khusus untuk mendapatkan proses pembelajaran yang sama. Dengan
begitu tidak ada diskriminatif dan kesenjangan antara anak berkebutuhan khusus
dengan yang bukan. Hal tersebut tentulah dibarengi dengan pemenuhan sarana
prasarana sekolah yang sudah ramah untuk siswa berkebutuhan khusus. Serta,
kompetensi guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus.
B.
Anak
Berkebutuhan Khusus
Atien
Nur Chamidah (2013) memaparkan ada sebelas jenis anak berkebutuhan khusus
berdasarkan jenis kelainan yang dialaminya.
1. Anak dengan kebutaan (tunanetra), baik menyeluruh
maupun sebagian
2. Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu), baik
yang menyeluruh maupun sebagian sehingga tidak mampu berkomunikasi dengan
bahasa lisan.
3.
Anak dengan cacat fisik pada alat gerak seperti sendi atau otot
(tunadaksa) yang menyebabkan kelainan gerakan anggota tubuh
4.
Anak berbakat yang melebihi intelegensi anak seusianya.
5.
Anak keterbelakangan mental atau tunagrahita
(retardasi mental) sehingga
mengalami kesulitan belajar dibanding anak seusianya.
6.
Lamban
belajar (slow learner) yaitu anak
dengan intelegensi sedikit dibawah normal namun belum termasuk
tunagrahita.
7.
Anak dengan disfungsi neurologis sehingga mengalami kesulitan
belajar spesifik seperti
disleksia dan disgrafia.
8.
Anak
yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara,
yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi
bahasa.
9.
Tunalaras/anak
yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
10. ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian
dan Hiperaktivitas)
11. Autisme Autisme adalah gangguan
perkembangan yang kompleks, meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan
aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan
anak yang termasuk autisme infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir.
Dalam
perkembangannya, anak-anak dengan kebutuhan khusus di atas membutuhkan
penanganan khusus yang membuat mereka tidak terbedakan dengan anak tanpa
kebutuhan khusus. Layanan
pendidikan yang diberikan harus dapat mengurangi hambatan yang ada dengan
memanfaatkan potensi lain yang mereka miliki. Pendidik juga perlu memahami
bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama besarnya dengan anak normal lain
dalam mengakses pendidikan dan kehidupan yang sebesar-besarnya.
C.
Psikologi
Anak Tunadaksa
Selain
mempertimbangkan kebutuhan khusus yang disandang anak dikarenakan cacatnya,
psikologi anak penting diperhatikan. Keberhasilan pendidikan inklusif di
sekolah tidak terlepas dari pemahaman akan mental anak dan usaha guru
menjadikan hal itu sebagai formula dalam mencari solusi yang tepat.
Dinie Ratri
Desiningrum (2016) mengemukakan bahwa
tunadaksa adalah kelainan ortopedik berupa gangguan dari fungsi tulang, otot
dan persendian baik karena bawaan sejak lahir, penyakit maupun kecelakaan.
Kelainan fisik ini akan memengaruhi kepribadian, emosi, dan sosial.
Kegiatan-kegiatan jasmani yang dilakukan anak bersama anak normal akan menimbulkan
masalah emosional yang membuatnya menyingkir dari keramaian. Anak tunadaksa
cenderung tertutup, malu, rendah diri, sensitif dan acuh jika dikumpulkan
dengan anak normal dalam suatu permainan. Berdasarkan penelitian kecacatan yang
dialami tidak mempengaruhi intelektual anak dengan tunadaksa. Namun dapat
menimbulkan gangguan lain seperti sakit gigi,
berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, dan gangguan bicara (gagap).
D.
Peningkatan Motivasi dengan Metode DKS
(Dampingi, Komunikasi, Semangati)
Pada dasarnya, motivasi merupakan unsur
penggerak dan pendorong dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu demi
mencapai hasil dan tujuan tertentu. Dorongan ini mewujud dalam usaha sadar yang
dijalankan dengan penuh Hasrat untuk menggapai apa yang menjadi tujuannya.
Menurut Mc Donald dalam Oemar Hamalik (2001:158),
mendefinisikan motivasi sebagai perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang
yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Motivasi tumbuh didorong oleh kebutuhan (need) seseorang, seperti
kebutuhan menjadi kaya, maka seseorang berusaha mencari penghasilan sebanyak-banyaknya. Berikut ini pendapat Mc. Donald mengenai
motivasi yang dikutip oleh Sardiman (2005:74). Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang
yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan
terhadap adanya tujuan. Dari pengertian ini terkandung tiga elemen penting
dalam pengertian motivasi, yaitu:
1)
Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya
perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan
membawa beberapa perubahan energi di dalam sistem neurophysiological
yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia
(walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan
menyangkut kegiatan fisik manusia.
2)
Motivasi ditandai dengan munculnya,
rasa/ feeling, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan
persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan
tingkah-laku manusia.
3)
Motivasi akan dirangsang karena adanya
tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu
aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi
kemunculannya karena terangsang/ terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal
ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.
Motivasi ini dapat juga dikaitkan dengan persoalan minat.
Minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat
ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan
keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, apa
yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang
dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri (Sardiman A.M,
2005:76).
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2003:61) istilah motivasi
diartikan sebagai kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu. Kekuatan
tersebut menunjukkan suatu kondisi dalam diri individu untuk mendorong atau
menggerakkan individu tersebut untuk mampu melakukan kegiatan mencapai sesuatu
tujuan. Pendapat yang diungkapkan oleh Ngalim Purwanto (2003:61), motivasi atau
dorongan adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang
mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan (goal) atau perangsang (incentive).
Dari beberapa definisi tersebut, maka motivasi mengandung
tiga komponen pokok, yaitu menggerakkan, mengalihkan, dan menopang tingkah laku
manusia. Oleh karena itu, motivasi juga dipengaruhi oleh keadaan emosi
seseorang. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan
atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan
sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
Kecenderungan sukses ditentukan oleh motivasi dan peluang serta intensif,
begitu pula sebaliknya dengan kecenderungan untuk gagal.
Bagi siswa berkebutuhan khusus, motivasi yang diberikan
guru, teman dan masyarakat sekelilingnya sangatlah diperlukan untuk membuat
mereka merasa diterima dan tidak berbeda dalam kehidupan. Salah satu
metode yang dapat diupayakan guru adalah DKS dampingi, komunikasi, semangati.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan
bahwa pengertian damping adalah dekat, karib, rapat (tentang persaudaraan).
Sedangkan mendampingi adalah menyertai dekat-dekat dalam suka dan duka, setia selalu.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa mendampingi siswa berkebutuhan khusus
bukan semata di saat tatap muka pembelajaran saja. Pendampingan ini bisa
dilakukan di luar jam pelajaran dalam bentuk obrolan santai, ringan namun
bermakna. Metode ini akan membuat siswa berkebutuhan khusus merasa diterima,
ada teman yang mengerti dan merasa nyaman dalam melaksanakan pendidikan di
sekolah inklusi.
Adapun komunikasi, menurut Rizal
Masdul (2018) merupakan suatu proses sosial yang
sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia. Dengan komunikasi seorang guru dan siswa
berkebutuhan khusus dapat saling memahami apa yang diinginkan, dibutuhkan dan
harus dilakukan.
Ketika sudah ada pendampingan yang kontinu disertai komunikasi yang
lancar maka menyemangati anak akan lebih mudah. Semangat ini akan terlihat dari
keinginan anak untuk fokus pada potensinya dibandingkan hambatan yang ia punya.
Disiplin belajar dan menyiapkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
PEMBAHASAN
A. Langkah-Langkah
Pelaksanaan Best Praktice
1. Perencanaan
a. Melakukan koordinasi dengan kepala sekolah
terkait bimbingan terhadap anak berkebutuhan khusus tunadaksa dengan metode DKS
(Dampingi, Komunikasi, Semangati)
b. Menentukan secara bersama jadwal bimbingan
mandiri dengan anak berkebutuhan khusus tunadaksa
c. Mengomunikasikan bentuk bimbingan
terstruktur dan tidak terstruktur kepada anak berkebutuhan khusus tunadaksa
sebagai bentuk pelayanan pendidikan inklusif di sekolah inklusi
2. Pelaksanaan
a. Guru melakukan pendampingan dan komunikasi
terkait aktivitas belajar dan siswa berkebutuhan khusus sesuai jadwal.
b. Guru memberikan keterampilan Ilmu
Komunikasi Teknologi untuk perencanaan masa depan siswa berkebutuhan khusus
tunadaksa.
c. Guru mendampingi siswa dalam persiapan
kebutuhan pembelajaran ke depannya
d. Menyemangati siswa dengan memberikan
masukan solutif terkait hambatan yang dialaminya selama pembelajaran.
e. Penulis mencatat setiap perkembangan
bimbingan yang dilaksanakan di lembar observasi
f. Siswa diminta mengisi lembar refleksi
tentang proses bimbingan yang dilaksanakan
g. Penulis melakukan analisis hasil refleksi siswa
dan mengidentifikasi kelemahan yang muncul selama bimbingan.
B. Hasil yang
Dicapai
Berdasarkan kondisi awal observasi dan wawancara terhadap siswa
berkebutuhan khusus tunadaksa, terjadi penurunan motivasi dalam belajar.
Awalnya siswa semangat belajar namun lama kelamaan motivasinya menurun. Ia
merasa tidak diterima di lingkungannya. Perasaan malu, rendah diri dan berbeda membuatnya
tidak mau melanjutkan sekolahnya. Dia juga mengalami kesulitan belajar karena
gangguan pada pengucapan vokal. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi keluarga
yang rendah, membuatnya tidak ada keyakinan untuk menimba ilmu ke perguruan
tinggi. Dia menyukai ilmu komunikasi namun kondisinya tidak memungkinkan untuk
itu.
Setelah mengumpulkan data dan informasi tentang permasalahan yang
terjadi pada anak berkebutuhan khusus tunadaksa, dilakukanlah DKS (Dampingi,
Komunikasi, Semangati) dalam jadwal bimbingan mandiri. Setiap permasalahan diberikan layanan yang
solutif dan dicatat perubahan-perubahan yang dialami. Adapun kesulitan, layanan
yang diberikan dan hasil praktik baik yang dilakukan dalam upaya peningkatan
motivasi anak berkebutuhan khusus tunadaksa dapat dilihat dalam tabel berikut :
No
|
Kesulitan yang dialami
|
Layanan yang diberikan
|
Hasil
|
1
|
Gangguan
lafal pengucapan dalam bicara
|
Melatih
pelafalan bicara dengan komunikasi yang intens dan meminta anak membaca
nyaring setiap jadwal bimbingan
|
Pelafalan
sudah bagus. Anak sudah bisa tampil di video yang diunggah pada instagram
dengan pengucapan yang lancar.
|
2
|
Malu
dan rendah diri. Anak sering menyendiri. Tidak memiliki teman dekat.
|
Memberikan
pendampingan secara kontinu. Mengomunikasikan kepada anak tentang
keistimewaan setiap manusia ciptaan Allah yang maha besar.
|
Sudah
berbaur dengan teman sekelas dan memiliki teman dekat.
|
3
|
Sedih
karena tidak memiliki keterampilan olahraga karena cacat fisik yang diderita
|
Memberikan
keterampilan IT yang menunjang masa depannya.
|
Bisa
mengoperasikan beberapa aplikasi di komputer.
|
4
|
Menyukai
ilmu komunikasi namun yakin tidak mampu karena gangguan pengucapan yang
dialami
|
Mendorong,
menyemangati dan meyakinkan kalau dia bisa jika mau berusaha.
|
Lulus
di Ilmu Komunikasi UTU
|
5
|
Kesulitan
ekonomi, takut membebani orang tua jika lanjut ke pendidikan lebih tinggi
|
Menjelaskan
tentang bantuan pemerintah terhadap pendidikan tinggi berupa KIP kuliah dan
beasiswa. Mendampingi pembuatan KIP kuliah
|
Menerima
KIP Kuliah
|
Tabel
1. Hasil Peningkatan Motivasi Anak Tunadaksa Melalui Metode DKS
Dari tabel di atas dapat dilihat peningkatan
motivasi anak tunadaksa dalam pendidikan inklusif. Anak yang awalnya merasa
masa depan hanya milik anak normal saja menggapai keinginannya untuk kuliah di
jurusan yang ia inginkan. Hal ini menunjukkan metode DKS (Dampingi, Komunikasi
dan Semangati) dapat meningkatkan motivasi siswa berkebutuhan khusus tunadaksa
dalam pendidikan inklusif.
C. Nilai Penting
dan Kebaruan Best Praktice yang Telah Dilaksanakan
Anak berkebutuhan khusus juga berhak mendapatkan pendidikan yang sama
dengan anak normal lainnya. Hanya saja mereka bisa tersingkir jika guru tidak
mencari metode yang khusus untuk merangkul anak berkebutuhan khusus. Dari best praktice
ini dapat kita lihat bagaimana metode DKS (Dampingi, Komunikasi dan Semangati)
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa tunadaksa. Anak yang awalnya ingin
berhenti sekolah malah sekarang diterima di perguruan tinggi. Tentulah ini
bermakna cukup dalam bagi dirinya dan anak berkebutuhan khusus lainnya.
D. Faktor Pendukung
dan Penghambat
Adapun keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari faktor pendukung diantaranya
:
a.
Kepala sekolah yang selalu mendukung praktik baik guru
di sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan.
b.
Sarana dan prasarana yang memadai seperti labor
komputer, jaringan internet untuk membimbing anak mengasah keterampilan
informatika dan komunikasi
Adapun faktor penghambat yang dialami penulis selama melaksanakan
praktik baik diantaranya :
a. Masih ada penilaian negatif teman sebaya terhadap
siswa tunadaksa.
b. Masih ada orang tua yang malu
menyekolahkan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi
E. Tindak Lanjut
Penulis selalu melakukan refleksi terhadap setiap metode yang dilakukan
untuk meningkatkan motivasi anak berkebutuhan khusus. Lain tunadaksa, lain lagi
layanan yang diberikan untuk jenis anak berkebutuhan khusus lainnya. Karena
penanganan terhadap anak berkebutuhan khusus harus dilakukan secara
berkesinambungan.
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil praktik baik yang
penulis lakukan tentang peningkatan motivasi siswa berkebutuhan khusus
tunadaksa dalam pendidikan inklusif,
dapat disimpulkan bahwa metode DKS (Dampingi, Komunikasi dan Semangati) dapat
meningkatkan motivasi siswa tunadaksa di SMAN 1 Sawang.
B. SARAN
Sekolah inklusi dirancang untuk dapat
merangkul semua anak Indonesia dengan keunikannya demi mendapatkan pendidikan
yang adil dan merata. Ke depannya, penulis menyarankan agar lebih banyak guru
melakukan penelitian tentang ini agar menambah khasanah berfikir kita dalam
melaksanakan pendidikan inklusif di sekolah masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
________________. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [online]. Tersedia di : kbbi.web.id. diakses pada 22 Oktober 2020
Chamidah,
Atien Nur.2013.”Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus”. Seminar Pelatihan
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. scholar.google.co.id, diakses tanggal
21 Oktober 2020.
Desiningrum,
Dinie Ratri. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta :
Psikosain
Mahabbati,
Aini. 2010. Pendidikan Inklusif Untuk Anak dengan Gangguan Emosi dan
Perilaku (Tunalaras). Jurnal Pendidikan Khusus Vol 7 No 2. UNY
Masbul.
Muhammad Rizal. 2018. Komunikasi Pembelajaran. IQRA,
Jurnal Ilmu Kependidikan & Keislaman Vol. 2 No. 1
Nana Syaodih Sukmadinata.
2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ngalim Purwanto. 2003. Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik. 1992. Psikologi
Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Bandung.
Prastiyono.
2013. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi di Sekolah Galuh
Handayani Surabaya). DIA, Jurnal Administrasi Publik Juni 2013, Vol. 11,
No. 1, Hal. 117 – 128. Pascasarjana – Untag Surabaya
Sardiman AM. 2005. Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Silahkan download file pada link berikut File Best Practice Arfian